Ditulis untuk Panggung Teater Gelap, oleh: Orang Biasa
(Satu bangku. Satu lampu kuning pucat menggantung. Seorang pria duduk. Tangan gemetar memegang ponsel. Ada suara-suara samar dari radio rusak. Musik klasik menggantung di udara. Lalu... dia bicara.)
Pria:
Jam dua pagi.
Kopi masih hangat. Tapi hati…
dingin.
(Ada jeda. Ia menatap layar ponsel.)
Aku sudah coba semuanya.
Meditasi, doa, bahkan terapi.
Tapi entah kenapa… malam-malam seperti ini selalu sama:
sunyi, lambat, dan penuh pikiran aneh.
Dan tiba-tiba...
iklan itu muncul.
“Ayo daftar GBOWIN. Coba peruntunganmu malam ini.”
(Ia tertawa. Lirih. Tapi bukan bahagia.)
Apa hidup ini memang tinggal klik?
Tinggal isi formulir. Daftar GBOWIN. Masukkan nama samaran.
Lalu berdoa pada angka-angka?
Berharap pada probabilitas?
Percaya pada peluang yang bahkan tak kita pahami?
(Ia berdiri. Melangkah pelan.)
Dulu aku daftar kuliah.
Daftar kerja.
Daftar nikah.
Sekarang, aku daftar GBOWIN?
Apa itu artinya aku menyerah?
Atau justru… itu bentuk terakhir perlawanan?
Ketika semua pintu terkunci,
kita mulai mengetuk pintu-pintu digital,
yang bahkan tak kita tahu, siapa penjaganya.
(Ia mengangkat ponsel. Seolah berbicara ke semesta.)
Hei, kalian yang membuat situs-situs itu.
Kalian yang menawarkan harapan berbentuk angka.
Tahukah kalian... bahwa klik itu bukan sekadar klik?
Itu adalah jeritan.
“Lihat aku! Aku masih ingin percaya sesuatu!”
Meskipun... yang aku percaya hanya peluang 0,01%.
(Ia kembali duduk. Mata memerah. Tersenyum.)
Malam ini aku daftar GBOWIN.
Bukan karena aku yakin akan menang.
Tapi karena… aku butuh alasan untuk bangun besok pagi.
[Lampu padam. Sunyi.]
???? Penutup
“Daftar GBOWIN” dalam monolog ini bukan ajakan, tapi cermin.
Cermin bagi banyak orang Indonesia hari ini:
yang lelah, yang bingung, yang tetap memilih percaya —
meski hanya lewat satu klik.
#DaftarGBOWIN #TeaterDigital #MonologMalam #EksistensiIndonesia